ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Film Di Timur Matahari amat banyak menampilkan
tanda-tanda yang bisa dimaknai macam-macam. Dalam makalah ini
dianalisis sejumlah tanda baik visual maupun verbal yang terkait dengan
representasi Kearifan Lokal dalam film di Timur matahari.
1. Deskripsi
Objek Penelitian
Film berjudul ‘Di Timur
Matahari’ adalah sebuah film keluarga, karya Ari Sihasale lewar rumah produksi
Alenia Pictures dengan produser eksekutif Nia Sihasale Zulkarnaen. Setelah
menyutradarai film King (2009) yang mengambil lokasi di Jawa Timur, kemudian
film Tanah Air Beta (2010) di Kupang NTT, lalu Serdadu Kumbang (2011) di Pulau
Sumbawa Alenia Pictures kembali mengangkat film tentang anak-anak dan keluarga.
Film “Di Timur Matahari (2012) ini bercerita soal perdamaian dan hausnya
anak-anak akan pendidikan, dengan latar belakang keindahan alam di Tiom,
kabupaten Lanny Jaya, Papua.
Kedekatan emosional Ari
dengan Papua inilah yang agaknya mendorong suami Nia Zulkarnaen ini membuat
film pendidikan dengan latar belakang konflik perang suku dan uniknya budaya
Papua. “Saya lahir di Papua, dan melihat realita yang kini terjadi di Papua,
saya pun terdorong untuk mengajak masyarakat agar mengenal Papua lebih dekat
melalui film ini,” ujar Ari Sihasale saat jumpa pers lauching film ‘Di
Timur Matahari’, di Jakarta beberapa waktu lalu.
Film ini menguak peran
anak-anak yang identik dengan kepolosan, keluguan dan keceriaan di tengah
konflik orang dewasa yang tak berujungpangkal dan sudah membudaya yakni perang
suku. Keluguan anak-anak Papua yang haus pendidikan direpresentasikan melalui
lima karakter anak Papua. Lima sekawan itu adalah Mazmur, Thomas, Suryani,
Agnes, dan Yoakim. Mereka anak-anak yang haus akan pendidikan dan berusaha
untuk menggapai cita-cita, namun harus terbentur dalam kondisi dan situasi yang
sangat sulit.
2. Analisis Data Ikon Film Di Timur Matahari
·
Keindahan alam
Papua. Suasana alam Papua yang amat indah, ada jembatan bamboo dan sejumlah
anak berbaju putih merah menuju sekolah, Menunjukkan kegigihan anak-anak Papua
untuk menempuh pendidikan meskipun harus melalui tantangan alam yang
keras
·
budaya gigi ganti
gigi, budaya balas dendam. “Mikael, ini bukan masalah dendam, tapi ini masalah
adat yang sudah ribuan tahun sebelum kamu ada! Gigi ganti gigi, pipi ganti pipi,”
ujar Alex.Ujar alex saat ingin membalas dendam kematian kakaknya Blasius, Masalah
adat papua yang lebih mempertahankan harga diri lewat perang ketimbang
menghargai nyawa dan perdamaian
·
sisa sisa
pertempuran dan nyanyian perdamaian. Anak-anak menatap ke depan di tengah
sisa-sisa pertempuran dan pertikaian antar suku yang menyisakan kobaran
api di mana-mana, Nyanyian anak-anak papua yang meminta konflik orang tua
mereka berakhir dengan kedamaian
3.
PEMBAHASAN
DAN KESIMPULAN
Sangat disadari
bahwa menelaah makna dari tanda-tanda yang muncul dalam sebuah film
tidak mudah. Begitu juga saat melihat film “ Di Timur Matahari”, representasi
kekerasan perang suku di sejumlah adegan dalam film ini
mengungkapkan bahwa secara budaya, kekerasan di tanah papua memang sudah
menjadi sebuah kebiasaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Alex, “ini bukan
masalah dendam, tapi ini masalah adat yang sudah ribuan tahun sebelum kamu ada!
Gigi ganti gigi, pipi ganti pipi,” Jadi ada budaya yang memang mengijinkan adanya
balas dendam demi mempertahankan harga diri. Sebagaimana muncul dalam dialog
berikutnya: “Menyelamatkan harga diri, bagi Alex, lebih penting daripada
menyelamatkan nyawanya sendiri. “Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi,” kata
Alex tegas. Adakah kearifan local mencuat dalam film ini?
Sebenarnya banyak dan dimunculkan lewat penggambaran sosok anak-anak
polos yang begitu bersemangat menempuh pendidikan. Anak-anak itu tetap menunggu
datanganya sang guru pengganti, dan mereka terus saja mengisi kegiatan
dengan menyanyi atau bermain bola.Atau muncul dalam adegan ketika mereka
–anak-anak itu minta kepada siapa saja yang mereka temui, ibu dokter,
bapak pendeta, para pekerja untuk mengajari mereka agar bisa pintar. Persoalan
ekonomi juga muncul dalam film itu, saat menggambarkan kesulitan Michael dan
istrinya mencari barang kebutuhan sehari-hari. Istri Michael (diperankan oleh
Laura Basuki) terkejut karena harga barang-barang sepele begitu mahalnya.
Di ceritakan Michael dan
istri belanja di satu warung, total belanjaan jutaan rupiah. Si istri meminta
bon dan membaca harga yang tertulis.Minyak goreng dua liter Rp. 350.000, beras
dua karung beras Rp. 1 juta.Si istri pun berkomentar “Bagaimana tidak minta
merdeka kalau harga-harga seperti ini!” Ini merupakan kritikan tajam dan
halus mengenai penanganan pemerintah terhadap Papua di bidang ekonomi dan
pemerataan pembangunan. Bila dibiarkan wajar saja apabila rakyat Papua
menginginkan kemerdekaan mereka keluar dari Indonesia.
Film ini juga bicara
soal denda adat, ini adalah salah satu persoalan yang ingin diluruskan.Sebagian
masyarakat asli masih mengguanakan denda adat sebagai penyelesaian sebuah
masalah. Denda adat ini di sisi yang lain terkadang lebih “berat”
daripada hukum yang berlaku. Sebagai contoh, dalam film tersebut ada
seorang pekerja yang menabrak seorang warga local, kemudian dia harus membayar
denda adat sebesar Rp.50 juta.
Setelah kematian
Blasius dalam sebuah musyawarah adat , ditetapkan adanya denda
adat sebesar RP 3 milyar. Michael adik Blasius sempat memprotes,
karena dia tahu warga semua miskin pasti tidak akan sanggup membayar denda
sebanyak itu. Ketika Michael mengatakan, bagaimana kalau mereka tak sanggup
bayar? Dengan entengnya di jawab oleh yang hadir: “ Mereka bisa tawar toh?
Michael berteriak ”Ini namanya dagang!” Dalam film ini terselip kritik yang
melihat denda adat di Papua kerap menjadi komoditi
perdagangan tanpa melihat kondisi dan situasi masyarakat yang ada.
Perang antar suku tak
dapat dihindari karena tak tercapai kesepakatan nilai denda adat di tengah
mereka. Bu dokter ( diperankan oleh Ririn Ekawati )sudah
memperingatkan untuk tidak memintanya mengobati warga yang terluka karena
perang. Tapi apa yang bisa dilakukan bu dokter ketika anak-anak menjerit dan
meminta bu dokter mengobati ayah-ayah mereka yang tertancap panah?
Nilai-nilai kemanusian terusik melihat fakta bahwa perang antarsuku itu sangat
membuat luka yangdalam bahkan bisa mematikan.
Nilai lain yang hendak
dibongkar dan diluruskan adalah soal perang suku. Bagi warga Papua khususnya
dalam film Di Timur Matahari, aksi pembunuhan adalah pelanggaran adat berat.
Kematian Blasius memicu adanya perang antar suku hanya demi mempertahankan
harga diri sebagai masyarakat Papua. Diceritakan saat pendeta ( diperankan
Lukman sardi) terlibat dialog dengan warga yang siap berperang dan dia
bertanya, “Tidak bisakah diselesaikan dengan bermusyawarah?” Salah satu warga
menjawab. “ ini demi harga diri”. Film ini kemudian memasukkan
nilai-nilai arif lewat kata-kata sang pendeta :“(Tuhan) Allah mana yang
mengijin kan perang demi mempertahankan sebuah harga diri?”
Klimaks film yang
berdarah-darah dan penuh api amarah ditutup dengan solusi yang manis.
Lewat adegan Mazmur diikuti empat kawan-kawannya masuk di tengah perang
antar suku. Blasius ayah mazmur sudah meninggal, demikian juga dengan
ayah kawan-kawannya. Mazmur kemudian bernyanyi diikuti kawan-kawannya
juga para orang tua dan pak pendeta. Lagu dalam bahasa Papua begitu
menghipnotis.Terdengar beberapa kata Tuhan Yesus dalam nyanyian tersebut.Perang
pun akhirnya berhenti, semua diam menunduk.Meski tak menyelamatkan semuanya,
mengingat sudah banyak korban jiwa yang jatuh dan banyak rumah terbakar, tapi
semangat perdamaian sudah tercipta di tengah mereka.
No comments:
Post a Comment